Jumat, 04 Juni 2010

Kisah Pohon Apel


KISAH POHON APEL


Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.
Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya.
Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.
Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
Waktu terus berlalu.
Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia mendatangi pohon apel.
Wajahnya tampak sedih.
"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.
"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu.
"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita.
Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi.
Pohon apel sangat senang melihatnya datang.
"Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.
"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"
"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.
Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.
Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi.
Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
"Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel.
"Aku sedih," kata anak lelaki itu.
"Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya.
Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."
"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,"jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu.
"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu.
Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."
"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.
Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Ini adalah cerita tentang kita semua.
Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.
Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika
kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.
Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.
Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Terimakasih Tuhanku


Terima Kasih Tuhanku

Pagi ini, tidak biasanya saya menempuh perjalanan naik angkot ke kantor. Bukan apa-apa, memang kantor saya tidak jauh dari rumah tempat tinggal saya. Namun, tadi malam saya menginap di rumah saudara, karena ada urusan penting. Jadilah pagi ini saya naik angkot.
Kebetulan saya duduk di depan, silau nakal matahari pagi memaksa saya memejamkan mata dan memang sambil mengantuk, karena semalam lama berdiskusi dengan saudara saya. Tiba-tiba saya tertarik oleh sebuah pemandangan. Di sebrang jalan berdiri seorang bapak paruh baya. Beliau hendak menyebrang dan bermaksud menumpangi angkot yang saya tumpangi. Apa yang menarik? Bukankah itu pemandangan biasa di jalan raya setiap hari?
Namun, bagi saya pagi ini ada hikmah luar biasa. Kenapa? iya, Bapak itu, bapak yang usianya sekitar 40 tahun, wajahnya ganteng, senyum di wajahnya menunjukkan betapa ia begitu bersemangat berangkat kerja.
Hm... masih penasaran. Hikmah luar biasa? Apa maksudnya? Iya, bapak itu.. beliau menjinjing tas, yang isinya map dan amplop-amplop. saya tidak tahu isinya apa. saya juga tidak tau profesinya apa. Apakah beliau karyawan, guru, sales, debt collector, entahlah.
Makin bingung? iya, wajar. artinya anda hanyut dengan cerita saya. Apa yang menarik perhatian saya, apa yang membuat saya tergelitik memilih judul begitu. Iya, bapak itu, beliau tidaklah seperti saya. tidak seperti saya yang mempunyai tangan lengkap, mempunyai kaki yang sempurna. Beliau mempunyai tangan cacat. entah seperti apa,saya pun kurang jelas. tapi yang pasti beliau tidak memiliki jari tangan yang lengkap, ukuran tangan yang normal, telapak tangan yang lebar. Pun, beliau tidak punya dua kaki yang lengkap yang bisa menopang tubuhnya. Kaki beliau mungkin hanya selutut saja. Mungkin tinggi badannyapun tidak sampai 1 meter kotor. Ingat dengan Hee Ahh Lee, si tangan lobster yang mahir memainkan tuts-tuts pianonya? Mungkin ukuran tubuh beliau persis seperti dia.
Tapi semangat itu, wajah berseri itu? Tidak ada beban di wajahnya. Dia mensyukuri keadaannya. Sampai ke pemberhentian terakhir angkot yang saya tumpangi pagi ini, beliau pun turun. entah menuju ke arah mana, saya tidak sempat lagi memperhatikannya. Dan saya juga tidak mau menunjukkan kalau saya memperhatikan beliau.
Saya meneruskan perjalanan saya. sepanjang jalan, saya merenungkan kembali pemandangan tadi. yang baru beberapa menit berlalu. Dalam hati aya mulai berkata, terimakasih Tuhan atas tubuh yang sempurna ini, terimakasih Tuhan atas dua kaki, dua tangan, dua mata, mulut, dan semuanya. Ini sungguh sempurna.
Ada semangat baru yang timbul setelah melihat pemandangan itu. Iya... rasa bersyukur atas banyak hal. Ternyata begitu banyak yang saya lewatkan selama ini. Ternyata sering tanpa kita sadari, kita mengeluhkah hal-hal yang seharusnya tidak perlu dikeluhkan. Tuhan begitu baik pada kita. Tuhan memberikan sesuatu yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Bahkan bapak itu, beliau masih bisa memberikan senyumnya yang tulus, mengalirkan semangatnya bagi yang bisa merasakannya. Terimakasih Tuhan untuk pelajaran berharga pagi ini.
Banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik setiap hari, setiap waktu, setiap menit, bahkan dalam setiap helaan nafas. Oleh sebab itu berterimakasih kepadaNya. Kepada dia si pemberi hidup.